Mawar Cendayam
Perlahan aku berjalan di bawah langit azzura, menuju rumah bandu kecilku.
Sebenarnya ada rasa gabir tuk menemuinya, tapi bagaimana lagi?
Ada cendera mata yang harus ku berikan kepadanya.
Dari kejauhan, tak sengaja ku lihat emanasi itu ada pada pojok jendela rumahnya.
Sungguh, tertarik sekali aku.
Ada segelintir hasrat tuk memiliki.
Berharap kelak dia yang akan memberikan setangkai mawar cendayam ini untukku.
Perlahan,
ku menuju pintu rumahnya,
Tangan kanan ku baru saja ingin mengetuk, tapi dia sudah membukakan pintu miliknya.
Tak tahu mengapa, aku begitu cengang saat dia keluar bersama arumika tepat di depan ragaku.
Bibirku gerogi,
Ragaku gemetar,
Jantungku berdebar kencang,
Denyut nadiku seperti kronis,
dan tanganku tak sanggup ingin memberikan cendera mata ini untuknya.
Ku lihat tangan kanan kekasihnya membawa mawar cendayam yang ku harapkan tadi.
Tuhan,
Ragaku tak sanggup berdiri di sini lagi.
Rasa cemburuku menyebar pada dinding-dinding kalbu.
Pelupukku seakan ingin menumpahkan air mata.
Aku salah,
Aku terlalu mengharapkan mawar cendayam beserta cinta di dalamnya.
Sekarang aku sadar, mawar cendayam itu lebih pantas diberikan pada arumika kekasihnya,
bukan untukku.
Lisda Amanda
Pojok Rindu, 22 Desember 2019
{Bandu : Teman}
{Emanasi : Sesuatu yang memancar}
{Gabir : Canggung}
{Arumika : Wanita Cantik}
{Cendayam : Nampak indah}
{Cendera mata : Oleh-Oleh/hadiah}

Komentar
Posting Komentar